Disini aku sekarang, di posisiku yang
entah benar atu tidak. Kini aku menginjak jenjang akhir semester 4,
dalam hitungan hari segera ku tempuh Ujian Akhir Semester yang tak
pernah siap aku hadapi. Siang itu kawanku memberikan selebaran dari
kampus, isinya tak lain adalah pemberitahuan Ujian Akhir Semester
bagi mahasiswa/i semester 4. Kulihat sejenak lembaran putih dengan
cetakan tinta hitam, “Heeh...” aku hanya bisa menghela nafas.
Biaya ujian yang cukup besar membuatku serba salah, tak tega rasanya
mengabarkan hal ini pada orang tuaku. Ya, bagiku yang hanya anak
seorang tukang servis mesin tik yang kini tak lagi ramai order
tergeser era komputer yang semakin canggih, uang jajan saja sudah
lumayan. Ku lipat segera lembar kertas pengumuman, semakin lama
lembaran itu membuatku kesal.
Sampai di rumah ku letakkan tasku
sekenanya, hari ini cukup mengesalkan. Begitu banyak rasa berkecamuk
di pikiranku, seolah berlomba untuk ku luapkan. Marahkah? Sedihkah?
Aku bingung, bagaimana caranya memberitahu orang tuaku tentang
selebaran yang mengesalkan ini tanpa membuat mereka bingung? Nilai
yang tertera bukanlah jumlah yang sedikit, cukup untuk uang sakuku
selama 2 bulan. Meski aku mempunyai kakak yang sudah bekerja, risih
rasanya meminta mereka menyelesaikan masalahku. Mereka sudah
mempunyai kehidupan mereka sendiri dengan keluarga kecilnya, meski
mereka sejak awal membiayai kuliahku.
Ku letakkan selebaran mengesalkan itu
di atas meja, berharap caraku tak terlalu membuat mereka terkejut. Ku
langkahkan kaki kekamarku, memikirkan apa yang akan terjadi
selanjutnya. Kuraih ponselku, ku kirimkan pesan singkat pada abangku
di sebrang pulau sana. Seingatku kemarin ada pembelian dalam jumlah
banyak, semoga bisa membantu masalah keuanganku sekarang. Ya, untuk
membantu perekonomian keluarga aku berjualan online, hasil
penjualannya kugunakan untuk biaya kuliahku sehari-hari. Sedikit bisa
mengurangi beban keluarga, meski uang bulananku tetap ditanggung
kakak-kakakku.
Esok paginya saat aku hendak berangkat
kuliah, ayahku memanggil,
“Da, kamu kuliah 4 bulan kok bayarnya
6bulan?”
apa yang harus aku katakan? Aku pun tak
tau kenapa semester 4 hanya 4 bulan, bukan 6bulan seperti biasanya.
“Nggak tau Yah, kebanyakan libur
kali. Kemarin kan uda libur lama”
“Lama kapan? Kamu aja bulan puasa uda
deket lebaran masih kuliah”
“Semester kemarinnya yah, ada
kayaknya 4bulan libur”
“Ooo yaudah, bentar ya”
Ayahku berlalu, ku ikuti tanpa
sepengetahuannya. Ku lihat Ia tengah menghitung uang di atas meja.
Sedih, marah, kesal, berkecamuk di pikiranku. Sedih melihat raut
wajah Ayahku saat menghitung uang yang ia simpan, marah pada diriku
sendiri yang memberikan lembaran terkutuk itu. Aku berbalik ke tempat
semula, seolah aku tak melihat semuanya.
“Nih, bayar ujian dulu ya. Bulanannya
nanti”
Ingin rasanya aku menangis saat itu
juga, tapi apa kata Ayah nanti jika beliau melihatku tiba-tiba
menangis?
“Nanti aja Yah. Hari ini nggak ke
kampus kok, mau ada workshop ke sekolah”
“Oo yaudah, buat belanja dulu aja ya”
“Oke bos! Yuk capcus”
Ayah mengantarku sampai tempat
pemberhentian bus seperti biasa. Sepanjang jalan aku masi berpikir
bagaimana masalahku akan terselesaikan, dan hingga kini kau baca ini,
aku masih berpikir bagaimana semua akan berakhir. Aku yakin Allah
selalu punya jalan dengan rencana yang indah. Suatu saat jika aku
terlupa dan ingin menyerah atas semua perjuanganku, ingatkan aku atas
ini, agar raut wajah Ayahku tetap menjadi cambuk penyemangatku untuk
menghadapi resiko yang sejak awal aku ambil saat kuputuskan memasuki
jenjang kuliah.
Komentar