Langsung ke konten utama

24092012


Disini aku sekarang, di posisiku yang entah benar atu tidak. Kini aku menginjak jenjang akhir semester 4, dalam hitungan hari segera ku tempuh Ujian Akhir Semester yang tak pernah siap aku hadapi. Siang itu kawanku memberikan selebaran dari kampus, isinya tak lain adalah pemberitahuan Ujian Akhir Semester bagi mahasiswa/i semester 4. Kulihat sejenak lembaran putih dengan cetakan tinta hitam, “Heeh...” aku hanya bisa menghela nafas. Biaya ujian yang cukup besar membuatku serba salah, tak tega rasanya mengabarkan hal ini pada orang tuaku. Ya, bagiku yang hanya anak seorang tukang servis mesin tik yang kini tak lagi ramai order tergeser era komputer yang semakin canggih, uang jajan saja sudah lumayan. Ku lipat segera lembar kertas pengumuman, semakin lama lembaran itu membuatku kesal.
Sampai di rumah ku letakkan tasku sekenanya, hari ini cukup mengesalkan. Begitu banyak rasa berkecamuk di pikiranku, seolah berlomba untuk ku luapkan. Marahkah? Sedihkah? Aku bingung, bagaimana caranya memberitahu orang tuaku tentang selebaran yang mengesalkan ini tanpa membuat mereka bingung? Nilai yang tertera bukanlah jumlah yang sedikit, cukup untuk uang sakuku selama 2 bulan. Meski aku mempunyai kakak yang sudah bekerja, risih rasanya meminta mereka menyelesaikan masalahku. Mereka sudah mempunyai kehidupan mereka sendiri dengan keluarga kecilnya, meski mereka sejak awal membiayai kuliahku.
Ku letakkan selebaran mengesalkan itu di atas meja, berharap caraku tak terlalu membuat mereka terkejut. Ku langkahkan kaki kekamarku, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kuraih ponselku, ku kirimkan pesan singkat pada abangku di sebrang pulau sana. Seingatku kemarin ada pembelian dalam jumlah banyak, semoga bisa membantu masalah keuanganku sekarang. Ya, untuk membantu perekonomian keluarga aku berjualan online, hasil penjualannya kugunakan untuk biaya kuliahku sehari-hari. Sedikit bisa mengurangi beban keluarga, meski uang bulananku tetap ditanggung kakak-kakakku.
Esok paginya saat aku hendak berangkat kuliah, ayahku memanggil,
“Da, kamu kuliah 4 bulan kok bayarnya 6bulan?”
apa yang harus aku katakan? Aku pun tak tau kenapa semester 4 hanya 4 bulan, bukan 6bulan seperti biasanya.
“Nggak tau Yah, kebanyakan libur kali. Kemarin kan uda libur lama”
“Lama kapan? Kamu aja bulan puasa uda deket lebaran masih kuliah”
“Semester kemarinnya yah, ada kayaknya 4bulan libur”
“Ooo yaudah, bentar ya”
Ayahku berlalu, ku ikuti tanpa sepengetahuannya. Ku lihat Ia tengah menghitung uang di atas meja. Sedih, marah, kesal, berkecamuk di pikiranku. Sedih melihat raut wajah Ayahku saat menghitung uang yang ia simpan, marah pada diriku sendiri yang memberikan lembaran terkutuk itu. Aku berbalik ke tempat semula, seolah aku tak melihat semuanya.
“Nih, bayar ujian dulu ya. Bulanannya nanti”
Ingin rasanya aku menangis saat itu juga, tapi apa kata Ayah nanti jika beliau melihatku tiba-tiba menangis?
“Nanti aja Yah. Hari ini nggak ke kampus kok, mau ada workshop ke sekolah”
“Oo yaudah, buat belanja dulu aja ya”
“Oke bos! Yuk capcus”
Ayah mengantarku sampai tempat pemberhentian bus seperti biasa. Sepanjang jalan aku masi berpikir bagaimana masalahku akan terselesaikan, dan hingga kini kau baca ini, aku masih berpikir bagaimana semua akan berakhir. Aku yakin Allah selalu punya jalan dengan rencana yang indah. Suatu saat jika aku terlupa dan ingin menyerah atas semua perjuanganku, ingatkan aku atas ini, agar raut wajah Ayahku tetap menjadi cambuk penyemangatku untuk menghadapi resiko yang sejak awal aku ambil saat kuputuskan memasuki jenjang kuliah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senyum Polos di Terminal

Jam kuliah yang selesai pukul 18:00 sebenarnya agak menyusahkanku, hal ini dikarenakan semakin jarangnya bus antar kota menuju kotaku. Perut yang mulai keroncongan pun mau tak mau harus diisi, untunglah ada tukang siomay yang masih mangkal di terminal. sambil menunggu pesanan, sesosok bocah laki-laki berumur sekitar 7 atau 8 tahun menyapaku, "Mbak, mau pulang?" tangannya bergerak-gerak membentuk bangunan rumah sepertinya dia bukan anak yang biasa, pikirku. "Iya dek" jawabku sambil tersenyum. Pesanan siomayku sudah di tangan, aku duduk di kursi panjang tempat bocah itu duduk, di sampingnya. "Adek mau pulang juga?" tanyaku iseng, aduh, kalo nanya gini kenapa logatku mirip logat jogja Dia menggeleng, siomay di tangannya telah habis, begitu juga dengan air di tangan yang lain. "Adek rumahnya dimana?"  tanyaku lagi Dia kembali menggeleng. "Bapaknya mana?" "Nggak ada," jawabnya sambil tetap menggeleng. "Ibu?" "Nggak a...

Gue pulang Kuliah :)

Sama seperti biasanya, hari ini gue pulang ke rumah dari kampus tercinta, gue mahasiswi (ya iyalah, masa mahasiswa? Emangnya eyke cewek apaan). Sumpah! Hari ini tuh panasnya nggak kira-kira! Baru aja minuman dingin gue ambil dari habitatnya di #apasih namanya# refrigerator #ya pokoknya itulah#, udah nggak dingin kayak nggak dimasukin ke pendingin. Tuhan, nerakaMu bocorkah? Bukan! Ini efek global warming yang sering digembar-gemborin orang-orang. Gue duduk di bawah pohon (inget, DI BAWAH, kalo diatas ntar gue disangka ponakannya miss Kun lagi) lumayan buat ngadem, meski nggak ngaruh. Bus yang gue tunggu lama nggak nongol, 5 menit........... 10 menit.......... 15 menit kemudian datanglah bus warna hijau agak kekuningan (jangan bayangin yang jorok-jorok) dengan roda 4 (kalo rodanya ada 3 lu tau sendiri apaan). Dengan cepat, eh nggak deng. Yah pokoknya gitulah, intinya gue naik itu bus yang warnanya ijo agak kuning dengan sedikit kesal. Kaki gue baru naik satu, itu supir main gas a...