Langsung ke konten utama

Sisi Lain Pedagang Asongan

Sering kesel sama pedagang asongan yang biasa seliweran di bus antar-kota? Memang, kadang mereka lebih terkesan "nodong" daripada jualan. Tapi nggak semua lho, nggak percaya? cikiciw ;)

Pagi menjelang siang, rasanya sungguh malas beranjak dari tempat tidur. entah berapa kali ponselku berteriak membangunkanku dari mimpi indah bersama... stop! OOT nih. kembali ke topik utama. Hari ini rencananya aku akan menyerahkan surat pengantarku ke instansi tempatku akan menghabiskan separuh semester lima dengan kerja praktek. Santai, klemar-klemer, bolak-balik kamar mandi - lemari pakaian, ada saja yang tertinggal. selain menyiapkan pakaian hari ini, aku juga harus menyiapkan pakaian untuk kupakai esok hari. nanti malam aku harus ke kampus untuk menjalani ujian susulan satu matakuliah, jika kalian bertanya kenapa aku harus mengikuti ujian susulan, mungkin kalian bisa mendapatkan jawabannya disini. Kondisi ayah yang masih sakit tak memungkinkan untuk mengantarku menuju tempat pemberhentian bus, akhirnya kuputuskan untuk berjalan kaki dengan jarak sekitar 1Km.

Tak perlu menunggu lama, bus warna biru besar berhenti dan aku langsung masuk ke dalamnya. untunglah masih ada tempat kosong, punggungku sakit terlalu lama menopang tas ransel yang isinya cukup berat. Ku lihat seorang pedagang asongan sedang menjajakkan dagangannya yang berupa buku pengetahuan yang dihargai Rp 3000. Perawakannya tak terlalu tinggi, kulitnya sawo matang, tutur katanya halus, senyum selalu tersungging di wajahnya.
dengan senyum masih tersungging di wajahnya, Ia mempromosikan buku dagangannya tersebut. Dibagikannya buku tersebut kepada penumpang bis, sambil berkata dalam bahasa jawa yang jika diterjemahkan artinya begini "Permisi, maaf mengganggu, silakan dilihat dulu bukunya. Cuma tiga ribu, kalo nggak minat nanti saya ambil lagi" begitu berulang kali Ia ucapkan, tak lupa senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Lumayan banyak yang berminat pada jualannya, ada saja yang menawar dengan harga jauh labih rendah dari harga yang Ia tawarkan. Awalnya ku pikir Ia akan sedikit kecewa dan nada bicaranya berubah, namun dugaanku meleset. Dengan tetap tersenyum dia menanggapi pembeli rewel sambil berkata "Mohon maaf sekali, harga yang saya tawarkan sudah lebih murah dari harga pasar. Jika Bapak menawar dengan harga sekian maka saya tidak dapat melanjutkan usaha saya, saya masih punya tanggungan di rumah. Mohon maaf sekali" sambil mengucapkan terimakasih, meski bukunya tak dibeli.

Yah~, andai saja semua pedagang asongan seperti dia. Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun dijadikan prinsip berjualan. Sedangkan yang sering ditemui di banyak tempat adalah pedagang asongan yang 'maksa' agar dagangannya dibeli, dan muka cemberut ketika dagangannya tak dibeli. Belum lagi harga yang ditawarkan jauh lebih mahal, jika ditawar maka emosi yang didapat calon pembeli.
Hm... Bapak, siapapun namamu, terima kasih atas pelajaran hari ini. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senyum Polos di Terminal

Jam kuliah yang selesai pukul 18:00 sebenarnya agak menyusahkanku, hal ini dikarenakan semakin jarangnya bus antar kota menuju kotaku. Perut yang mulai keroncongan pun mau tak mau harus diisi, untunglah ada tukang siomay yang masih mangkal di terminal. sambil menunggu pesanan, sesosok bocah laki-laki berumur sekitar 7 atau 8 tahun menyapaku, "Mbak, mau pulang?" tangannya bergerak-gerak membentuk bangunan rumah sepertinya dia bukan anak yang biasa, pikirku. "Iya dek" jawabku sambil tersenyum. Pesanan siomayku sudah di tangan, aku duduk di kursi panjang tempat bocah itu duduk, di sampingnya. "Adek mau pulang juga?" tanyaku iseng, aduh, kalo nanya gini kenapa logatku mirip logat jogja Dia menggeleng, siomay di tangannya telah habis, begitu juga dengan air di tangan yang lain. "Adek rumahnya dimana?"  tanyaku lagi Dia kembali menggeleng. "Bapaknya mana?" "Nggak ada," jawabnya sambil tetap menggeleng. "Ibu?" "Nggak a...

Gue pulang Kuliah :)

Sama seperti biasanya, hari ini gue pulang ke rumah dari kampus tercinta, gue mahasiswi (ya iyalah, masa mahasiswa? Emangnya eyke cewek apaan). Sumpah! Hari ini tuh panasnya nggak kira-kira! Baru aja minuman dingin gue ambil dari habitatnya di #apasih namanya# refrigerator #ya pokoknya itulah#, udah nggak dingin kayak nggak dimasukin ke pendingin. Tuhan, nerakaMu bocorkah? Bukan! Ini efek global warming yang sering digembar-gemborin orang-orang. Gue duduk di bawah pohon (inget, DI BAWAH, kalo diatas ntar gue disangka ponakannya miss Kun lagi) lumayan buat ngadem, meski nggak ngaruh. Bus yang gue tunggu lama nggak nongol, 5 menit........... 10 menit.......... 15 menit kemudian datanglah bus warna hijau agak kekuningan (jangan bayangin yang jorok-jorok) dengan roda 4 (kalo rodanya ada 3 lu tau sendiri apaan). Dengan cepat, eh nggak deng. Yah pokoknya gitulah, intinya gue naik itu bus yang warnanya ijo agak kuning dengan sedikit kesal. Kaki gue baru naik satu, itu supir main gas a...

24092012

Disini aku sekarang, di posisiku yang entah benar atu tidak. Kini aku menginjak jenjang akhir semester 4, dalam hitungan hari segera ku tempuh Ujian Akhir Semester yang tak pernah siap aku hadapi. Siang itu kawanku memberikan selebaran dari kampus, isinya tak lain adalah pemberitahuan Ujian Akhir Semester bagi mahasiswa/i semester 4. Kulihat sejenak lembaran putih dengan cetakan tinta hitam, “Heeh...” aku hanya bisa menghela nafas. Biaya ujian yang cukup besar membuatku serba salah, tak tega rasanya mengabarkan hal ini pada orang tuaku. Ya, bagiku yang hanya anak seorang tukang servis mesin tik yang kini tak lagi ramai order tergeser era komputer yang semakin canggih, uang jajan saja sudah lumayan. Ku lipat segera lembar kertas pengumuman, semakin lama lembaran itu membuatku kesal. Sampai di rumah ku letakkan tasku sekenanya, hari ini cukup mengesalkan. Begitu banyak rasa berkecamuk di pikiranku, seolah berlomba untuk ku luapkan. Marahkah? Sedihkah? Aku bingung, bagaim...