Jam kuliah yang selesai pukul 18:00 sebenarnya agak menyusahkanku, hal ini dikarenakan semakin jarangnya bus antar kota menuju kotaku.
Perut yang mulai keroncongan pun mau tak mau harus diisi, untunglah ada tukang siomay yang masih mangkal di terminal.
sambil menunggu pesanan, sesosok bocah laki-laki berumur sekitar 7 atau 8 tahun menyapaku,
"Mbak, mau pulang?" tangannya bergerak-gerak membentuk bangunan rumah
sepertinya dia bukan anak yang biasa, pikirku.
"Iya dek" jawabku sambil tersenyum.
Pesanan siomayku sudah di tangan, aku duduk di kursi panjang tempat bocah itu duduk, di sampingnya.
"Adek mau pulang juga?" tanyaku iseng, aduh, kalo nanya gini kenapa logatku mirip logat jogja
Dia menggeleng, siomay di tangannya telah habis, begitu juga dengan air di tangan yang lain.
"Adek rumahnya dimana?" tanyaku lagi
Dia kembali menggeleng.
"Bapaknya mana?"
"Nggak ada," jawabnya sambil tetap menggeleng.
"Ibu?"
"Nggak ada juga" Ia kembali menggeleng
Aku berhenti sejenak, menikmati siomayku. Memberikan tuntutan perutku, hingga siomay di tanganku habis.
Aku tergerak untuk melangkahkan kakiku ke toko kecil di dekat bangu tempatku duduk, ku beli roti dan air. Entah kenapa, padahal siomay rasanya cukup.
Ku pandangi bocah laki-laki itu, tatapannya penuh harap. Ku bayar roti dan air, kemudian ku panggil bocah tadi.
"Dek, sini" kataku
Dia menghampiri, tanpa kata. Kuberikan bungkusan yang baru saja ku beli, dia menerimanya dan berbalik tanpa kata.
Aku kembali duduk disampingnya, ku lihat dia mengeluarkan sarung kumal dari tas kecilnya. dimasukannya bungkusan tadi ke tas kecilnya, dan dipakainya sarung kumal tadi untung menutupi tubuhnya.
Cuaca memang agak dingin. Ku perhatikan lagi dia. Kausnya yang kumal, celana robek, sendal yang aus menandakan bahwa ia tak terurus. Tingkahnya yang tak seperti biasanya membuatku kesimpulan, dia agak terbelakang. Caranya bicara, reaksinya mendengar orang lain, jawabannya ketika ditanyai menguatkan asumsiku.
Rasa isengku kembali muncul
"Dek, mbak boleh nanya?"
Ia tersenyum, senyuman yang polos.
"Adek namanya siapa?"
Dia tersenyum malu, mungkin agak risih dengan pertanyaanku.
"Mbak bukan orang jahat kok dek, Mbak sekolah di situ tuh. Itu, yang ada lampunya warna-warni, bagus ya"
Ia memandang ke arah kampusku, matanya berbinar.
"Nama adek siapa?" tanyaku lagi
"Diki" jawabnya pelan (Entah Diki atau Kiki)
"Adik disini ngapain?" tanyaku lagi
"Ngamen" jawabnya sambil sesekali tersenyum
"Emang bisa nyanyi?" ledekku
Ia hanya tersipu malu.
"Adek kalo malem tidurnya dimana?"
Ia menepuk bangku tempat kami duduk, mengisyaratkan jawabannya.
"Engga dingin?"
"Engga"
Sepertinya dia bukan anak asli dari sini, dari cara dan logatnya berbicara amat berbeda dengan anak sebayanya. Aku juga baru pertama kali melihatnya, padahal tiap hari aku menunggu bus di terminal.
Maklumlah, kampus baruku letaknya di belakang terminal. Sedikit membantu untuk transportasi.
"Dek, mau difoto nggak?"
Ia tersenyum kebingungan
"Nanti masuk Internet, kalo untung bisa terkenal. Kan ada tuh pengamen kecil yang masuk TV"
Ia mengangguk penuh semangat
Ah, kenapa ya? Kenapa aku bertemu bocah ini? Aku tak yakin ia tak punya orang tua.
Ia agak terbelakang, itu sebabnya Ia tak tau siapa orang tuanya. Dia bukan berasal dari sini, dia berbeda.
Apa dia sengaja disingkirkan? Entahlah. Yang aku tau dia polos.
Perut yang mulai keroncongan pun mau tak mau harus diisi, untunglah ada tukang siomay yang masih mangkal di terminal.
sambil menunggu pesanan, sesosok bocah laki-laki berumur sekitar 7 atau 8 tahun menyapaku,
"Mbak, mau pulang?" tangannya bergerak-gerak membentuk bangunan rumah
sepertinya dia bukan anak yang biasa, pikirku.
"Iya dek" jawabku sambil tersenyum.
Pesanan siomayku sudah di tangan, aku duduk di kursi panjang tempat bocah itu duduk, di sampingnya.
"Adek mau pulang juga?" tanyaku iseng, aduh, kalo nanya gini kenapa logatku mirip logat jogja
Dia menggeleng, siomay di tangannya telah habis, begitu juga dengan air di tangan yang lain.
"Adek rumahnya dimana?" tanyaku lagi
Dia kembali menggeleng.
"Bapaknya mana?"
"Nggak ada," jawabnya sambil tetap menggeleng.
"Ibu?"
"Nggak ada juga" Ia kembali menggeleng
Aku berhenti sejenak, menikmati siomayku. Memberikan tuntutan perutku, hingga siomay di tanganku habis.
Aku tergerak untuk melangkahkan kakiku ke toko kecil di dekat bangu tempatku duduk, ku beli roti dan air. Entah kenapa, padahal siomay rasanya cukup.
Ku pandangi bocah laki-laki itu, tatapannya penuh harap. Ku bayar roti dan air, kemudian ku panggil bocah tadi.
"Dek, sini" kataku
Dia menghampiri, tanpa kata. Kuberikan bungkusan yang baru saja ku beli, dia menerimanya dan berbalik tanpa kata.
Aku kembali duduk disampingnya, ku lihat dia mengeluarkan sarung kumal dari tas kecilnya. dimasukannya bungkusan tadi ke tas kecilnya, dan dipakainya sarung kumal tadi untung menutupi tubuhnya.
Cuaca memang agak dingin. Ku perhatikan lagi dia. Kausnya yang kumal, celana robek, sendal yang aus menandakan bahwa ia tak terurus. Tingkahnya yang tak seperti biasanya membuatku kesimpulan, dia agak terbelakang. Caranya bicara, reaksinya mendengar orang lain, jawabannya ketika ditanyai menguatkan asumsiku.
Rasa isengku kembali muncul
"Dek, mbak boleh nanya?"
Ia tersenyum, senyuman yang polos.
"Adek namanya siapa?"
Dia tersenyum malu, mungkin agak risih dengan pertanyaanku.
"Mbak bukan orang jahat kok dek, Mbak sekolah di situ tuh. Itu, yang ada lampunya warna-warni, bagus ya"
Ia memandang ke arah kampusku, matanya berbinar.
"Nama adek siapa?" tanyaku lagi
"Diki" jawabnya pelan (Entah Diki atau Kiki)
"Adik disini ngapain?" tanyaku lagi
"Ngamen" jawabnya sambil sesekali tersenyum
"Emang bisa nyanyi?" ledekku
Ia hanya tersipu malu.
"Adek kalo malem tidurnya dimana?"
Ia menepuk bangku tempat kami duduk, mengisyaratkan jawabannya.
"Engga dingin?"
"Engga"
Sepertinya dia bukan anak asli dari sini, dari cara dan logatnya berbicara amat berbeda dengan anak sebayanya. Aku juga baru pertama kali melihatnya, padahal tiap hari aku menunggu bus di terminal.
Maklumlah, kampus baruku letaknya di belakang terminal. Sedikit membantu untuk transportasi.
"Dek, mau difoto nggak?"
Ia tersenyum kebingungan
"Nanti masuk Internet, kalo untung bisa terkenal. Kan ada tuh pengamen kecil yang masuk TV"
Ia mengangguk penuh semangat
Ah, kenapa ya? Kenapa aku bertemu bocah ini? Aku tak yakin ia tak punya orang tua.
Ia agak terbelakang, itu sebabnya Ia tak tau siapa orang tuanya. Dia bukan berasal dari sini, dia berbeda.
Apa dia sengaja disingkirkan? Entahlah. Yang aku tau dia polos.
Komentar